Bhikkhu Terkemuka yang Melakukan Latihan Keras

Midway Buddhist Indonesia
4 min readDec 14, 2021

“Keteguhan”: Serangkaian kisah perjuangan dramatis yang terdapat dalam Ajaran Buddha.

Instagram: @midway.buddhist

Setelah Sang Buddha mencapai Parinibbāna, maka badan jasmani Beliau disiapkan untuk diperabukan. 4 orang dari suku Malla, setelah membersihkan diri dan mengenakan baju baru, mereka akan menyalakan api untuk perabuan jenazah Sang Buddha.

Berkali-kali mereka mencoba tapi tidak berhasil sehingga mereka menanyakan hal itu kepada Y.A. Anuruddha. Beliau memberitahukan bahwa hal itu tidak berhasil karena para dewa mempunyai maksud lain yaitu hendaknya api tidak dinyalakan terlebih dahulu sebelum Y.A. Mahā Kāssapa yang sedang dalam perjalanan menuju tempat tersebut untuk memberi hormat di depan kaki Sang Buddha.

Saat itu Y.A. Mahā Kāssapa dan para bhikkhu rombongannya yang sedang mengadakan perjalanan dari Pāvā ke Kusinārā bertemu dengan Petapa Ajivika. Petapa itu membawa bunga Mandarava yang dibawanya dari tempat wafatnya Sang Buddha di Kusinārā. Dari petapa itu Y.A. Mahā Kāssapa mengetahui berita wafatnya Sang Buddha. Mendengar berita itu para bhikkhu yang belum mencapai tingkat Arahat atau Anagami merasa sangat sedih, meratap, dan menangis.

Diantara mereka terdapat seorang bhikkhu tua bernama Subhadda yang baru memasuki kebhikkhuan pada usia lanjut. Ia berkata, “Cukup kawan-kawan, janganlah sedih atau meratap. Kita sekarang terbebas dari Sang Buddha. Kita telah dipersulit oleh kata-kata Sang Buddha ‘Ini boleh, ini tidak boleh’. Kini kita bebas untuk berbuat apa yang kita sukai”.

Kata-kata itu membuat Y.A. Mahā Kāssapa berpikir bahwa beliau harus mengadakan pertemuan para Arahat untuk melindungi dan menjaga kemurnian Ajaran Sang Buddha.

Setelah sampai di tempat Sang Buddha akan diperabukan dan Y.A. Mahā Kāssapa beserta rombongannya selesai memberi penghormatan dengan tiba-tiba api menyala dengan sendirinya membakar jenazah Sang Buddha.

Y.A. Mahā Kāssapa terlahir sebagai putra tunggal Brahmana Kapila dan istrinya Sumanadevi. Ia diberi nama Pipphali dan hidup dalam kemewahan. Setelah dewasa, orang tuanya menyuruhnya menikah. Pipphali menolak dengan berkata, “Selama ayah dan ibu masih hidup, saya akan merawat ayah dan ibu. Setelah itu saya akan meninggalkan hidup keduniawian”.

Karena orang tuanya mendesak terus untuk menikah, akhirnya ia membuat sebuah lukisan dan menyatakan bahwa ia akan menikah apabila ditemukan seorang gadis secantik gadis dalam lukisannya itu. Banyak orang dikirim untuk mencari gadis seperti lukisan itu. Di kota Sagaala mereka bertemu dengan Bhaddā Kāpilānī yang sesuai dengan lukisan itu dan juga belum mau menikah. Akhirnya Pipphali dan Bhaddā Kāpilānī menikah mau dan hidup bersama sampai orang tua Pipphali meninggal dunia.

Pada suatu hari setelah kematian orang tuanya, Pipphali dan Bhaddā Kāpilānī memutuskan untuk meninggalkan hidup keduniawian. Mereka mengenakan jubah kuning, memotong rambut, membawa mangkuk, dan pergi dari rumah bersama-sama. Tetapi karena merasa tidak pantas berjalan bersama, mereka bersepakat untuk berpisah di persimpangan jalan, Pipphali menuju ke arah kiri dan Bhaddā Kāpilānī menuju ke arah kanan.

Dalam perjalanan antara Rājagaha dan Nalanda, Pipphali melihat Sang Buddha sedang duduk di kaki pohon Bahuputtika Banyan. Ia mendekati Sang Buddha dan duduk di satu sisi serta memohon diterima sebagai siswa.

Sang Buddha menahbiskannya dengan memberikan 3 nasihat, “O Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada bhikkhu yang tua, yang muda dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi”.

Pada perjalanan kembali ke Rājagaha, Kāssapa mohon untuk menukar jubahnya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Merasa merupakan kehormatan besar baginya untuk dapat memakai jubah Sang Buddha, maka Kāssapa memutuskan untuk melaksanakan latihan Dhutaṅga. 8 hari kemudian mencapai tingkat kesucian Arahat.

Sedangkan Bhaddā Kāpilānī menuju ke sebuah vihāra di Titthiyas dekat Jetavana. Ia tinggal di sana selama 6 tahun. Kemudian setelah Mahāpajāpatī Gotamī diizinkan untuk menerima penahbisan sebagai bhikkhuni, ia pun memasuki Saṅgha Bhikkhuni. Tak lama kemudian ia mencapai tingkat kesucian Arahat dan merupakan siswa yang terkemuka di antara para bhikkhuni yang dapat mengingat kehidupan-kehidupan yang lampau.

Y.A. Kāssapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama hidupnya menjadi bhikkhu, beliau selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan dāna makanan, selalu memakai jubah bekas (pembungkus mayat), puas dengan pemberian yang sedikit, selalu hidup menjauhi masyarakat ramai, dan terkenal sangat rajin.

Menjawab pertanyaan mengapa beliau menuntut penghidupan yang demikian keras, beliau mengatakan bahwa hal itu dilakukannya bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kebahagiaan orang lain di kelak kemudian hari.

Beliau merupakan contoh yang sangat baik bagi orang-orang yang ingin menuntut kehidupan suci. Sebagai penghormatan beliau diberi nama Mahā Kāssapa (Kāssapa yang agung). Dalam suatu pertemuan para bhikkhu dan bhikkhuni, Sang Buddha menyatakan bahwa Y.A. Mahā Kāssapa adalah siswa yang terkemuka diantara mereka yang melakukan latihan yang keras.

Setelah upacara perabuan jenazah Sang Buddha selesai, Y.A. Mahā Kāssapa menceritakan ucapan Bhikkhu Subhadda kepada para bhikkhu lainnya. Beliau berkata bahwa seharusnyalah diadakan pengulangan Dhamma dan Vinaya. Hal itu disetujui oleh para bhikkhu lainnya.

3 bulan kemudian diadakanlah Sidang Agung yang pertama di gua Sattapanni di Rājagaha dengan bantuan dan perlindungan Raja Ajatasattu yang dihadiri oleh 500 Arahat.

Sidang itu dipimpin oleh Y.A. Mahā Kāssapa. Sidang itu mengulang semua peraturan Vinaya untuk para bhikkhu dan bhikkhuni serta semua khotbah Sang Buddha yang diberikan di tempat-tempat berlainan, kepada orang-orang berlainan dan pada waktu berlainan selama 45 tahun. Sidang berakhir setelah 7 bulan bekerja keras.

Bagi para bhikkhu yang baru saja kehilangan Sang Buddha, Y.A. Mahā Kāssapa dianggap sebagai bhikkhu yang dijadikan panutan. Hal ini tidak diragukan lagi karena beliau merupakan salah satu siswa utama yang masih hidup setelah wafatnya Sang Buddha dan merupakan bhikkhu yang sangat dihormati karena kesungguhannya dalam melaksanakan latihan yang keras.

Selain itu beliau merupakan satu-satunya bhikkhu yang pernah bertukar jubah dengan Sang Buddha dan memiliki 7 tanda dari 32 tanda Manusia Luar Biasa yang dimiliki Sang Buddha. Beliau hidup sampai usia yang sangat lanjut dan mencapai Parinibbāna pada usia 120 tahun.

Referensi: samaggi-phala.or.id

Salam bahagia selalu…

Jika ingin berkontribusi dan berdiskusi terkait informasi Buddha Dhamma dapat menghubungi:

  • Instagram: midway.buddhist
  • Facebook: midway.buddhist
  • YouTube: Midway Buddhist
  • Spotify: Midway Podcast by @midway.buddhist
  • Anchor: Midway Podcast by @midway.buddhist

Kontributor: Vincent Satya Surya, 2021.

--

--

Midway Buddhist Indonesia

Wadah diskusi dan belajar tentang ajaran Buddha serta cara menjalani kehidupan dengan lebih baik. Selalu berbagi Dhamma kepada semua. Salam bahagia selalu...