Ciñcā: Keteguhan Hati

Midway Buddhist Indonesia
6 min readNov 10, 2021

Buddha is My Superhero: Bukti bahwa Sang Buddha adalah “Pahlawan” bagi Dewa dan Manusia berdasarkan Buddhajayamaṅgala Gāthā

Instagram: @midway.buddhist

Katvāna kaṭṭhamu-daraṃ iva gabbhinīyā
Ciñcāya duṭṭhavacanaṃ janakāya-majjhe
Santena somaviddhinā jitavā munindo
Tantejasā bhavatu te jayamaṅgalāni

Setelah memperbesar perutnya dengan potongan kayu laksana wanita hamil,
Ciñcā memfitnah di tengah-tengah banyak orang.
Raja para Bijaksanawan menaklukkannya dengan keteguhan nan luhur, yakni kedamaian batin.
Dengan kekuatan ini semoga Anda mendapat berkah kejayaan.

Pada saat para petapa kehilangan banyak pengikut yang menyokong kehidupan mereka, mereka amat iri melihat banyak orang, baik kaya maupun miskin mendatangi Sang Buddha untuk menyampaikan hormat dan mendengarkan Dhamma. Mereka lalu melakukan perbuatan buruk, dan berteriak-teriak di tengah jalan:

“Hai saudara-saudara ….. Apakah hanya Bhikkhu Gotama saja yang dapat menjadi seorang Buddha? Kami adalah para Buddha juga! Apakah hanya dengan berdana kepadaNya saja yang akan memperoleh kebajikan? Yang berdana kepada kami, juga akan memperoleh kebajikan yang sama. Karena itu kamu harus memberikan dana dan penghormatan kepada kami juga.”

Tetapi penduduk di desa itu tetap tidak memperhatikan mereka. Akhirnya para petapa dengan diam-diam berkumpul bersama dan berunding: “Dengan cara bagaimana kita dapat mencela Bhikkhu Gotama di depan orang banyak, sehingga orang-orang akan berhenti memberikan dana dan penghormatan kepadaNya?”

Pada waktu itu di Sāvatthī, tinggallah seorang petapa wanita bernama Ciñcā Mānavikā. Ia mempunyai kecantikan dan keelokan yang luar biasa. Dari tubuhnya memancar sinar terang seperti seorang dewi. Seorang penasihat petapa yang kasar mengusulkan, dengan bantuan Ciñcā mereka akan dapat mencela Sang Buddha Gotama. Para petapa yang lain menyetujui usulannya. Mereka lalu memanggil Ciñcā Mānavikā.

Ciñcā Mānavikā mendatangi para petapa, lalu memberi hormat dan berdiri menanti, tetapi para petapa itu diam saja. Ia lalu bertanya: “Ada masalah apakah Anda ingin bertemu dengan saya?”

Pertanyaan ini diulangnya 3 kali, tetapi para petapa itu diam saja. Kemudian ia berkata lagi: “Tuan yang mulia, saya datang menghadap untuk memperoleh jawaban. Ada masalah apakah Anda ingin bertemu dengan saya? Mengapa Anda tidak mau menjawab pertanyaanku?”

“Saudari,” jawab salah seorang petapa, “Tahukah kamu, kalau Bhikkhu Gotama sangat merugikan kami, sehingga penghasilan dan penghormatan orang-orang kepada kami menjadi hilang?”

“Tidak yang mulia, saya tidak mengenalnya, tetapi adakah yang dapat saya bantu dalam hal ini?”

“Saudari, kalau kamu mengharapkan kami hidup sejahtera, gunakanlah segala kemampuanmu, susunlah rencana untuk mencela Bhikkhu Gotama, sehingga orang-orang tidak memberikan dana dan penghormatan lagi kepadaNya.”

Ciñcā Mānavikā menjawab: “Baiklah yang mulia, saya akan melakukannya, jangan khawatir.” Setelah berkata demikian, ia pergi dari pertapaan itu.

Sejak saat itu, Ciñcā meningkatkan keahliannya dalam bidang kewanitaan untuk mencapai maksudnya. Ia lalu menyusun rencana, apabila penduduk Sāvatthī kembali dari Vihāra Jetavana setelah mendengarkan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha, ia dengan sengaja mengenakan mantel panjang yang berwarna merah menyala, menyemprotkan minyak wangi dan mengenakan untaian bunga di tangannya, dan berjalan menuju ke arah Vihara Jetavana. Orang-orang bertanya: “Mau kemana kamu pada malam hari begini?”

“Saya mau pergi kemana saja, apa urusannya denganmu?”

Ia lalu menghabiskan malam itu di dekat Vihāra Jetavana, di tempat para petapa. Keesokan harinya ketika para penduduk keluar dari rumah menuju ke vihāra untuk menyampaikan hormatnya kepada Sang Buddha, ia berjalan balik pulang masuk ke kota, seperti ia baru saja kembali dari Vihāra Jetavana. Orang-orang bertanya: “Tidur di mana kamu semalam?”

“Apa urusannya dengan kamu, di mana saya tidur semalam?” jawabnya.

Setelah satu setengah bulan berlalu, apabila orang bertanya dengan pertanyaan seperti di atas, ia selalu menjawab:
“Oh, saya menghabiskan malam ini di Vihāra Jetavana sendirian bersama Bhikkhu Gotama di Ruang Dhammasala.”

Karena jawabannya itulah membuat orang-orang mempunyai perasaan curiga dan khawatir, tetapi mereka tidak percaya akan apa yang dikatakan Ciñcā. Mereka bertanya-tanya: “Ini benar atau salah…?”

Ketika 3 minggu sampai 4 bulan berlalu, Ciñcā Mānavikā lalu membalut perutnya dengan kain, sehingga terlihat ia sedang hamil muda. Ia lalu pergi dan berkata kepada para penduduk: “Saya mengandung bayi dari Bhikkhu Gotama.”

Jadi ia menipu dengan melakukan perbuatan yang sangat bodoh. Ketika 8 sampai 9 bulan berlalu, ia mengikat dengan kuat sepotong kayu di perutnya, dan menutupinya dengan jubah panjang. Ia lalu membuat seluruh tubuhnya membengkak, dengan cara memukuli tangan, kaki dan punggungnya dengan sepotong tulang kerbau. Ia merasa tubuhnya seperti orang yang sedang hamil tua.

Pada malam itu ia mendatangi Ruang Dhammasala dan berdiri di hadapan Sang Buddha. Saat itu Sang Buddha sedang duduk di tempat duduknya yang indah, di tengah Ruang Dhammasala dan sedang membabarkan Dhamma. Dengan berdiri di hadapan Sang Buddha, Ciñcā Mānavikā membuka mulutnya, mencerca dengan berkata: “Hai Bhikkhu Yang Perkasa, kekuatanMu adalah mengumpulkan orang ketika sedang mengajarkan AjaranMu; dengan suaraMu yang halus dan lembut keluar dari bibirMu. Sayang sekali ternyata Kamu adalah orang yang menjadikan saya hamil dan saya akan melahirkan tidak lama lagi. Tetapi, Kamu juga tidak berusaha untuk menyediakan tempat berbaring di ruangan ini untukku, ataupun menawarkan kepadaku susu, minyak ataupun keperluan lainnya yang aku butuhkan. Batalkan semua tugas yang harus Kamu kerjakan, tidakkah Kamu katakan ke orang-orang yang menjadi pengikutMu, seperti Raja Kosala, Anāthapiṇḍika dan Visākha pendukungMu yang terkenal itu. Katakanlah: ‘Berikanlah apa yang perempuan muda ini butuhkan.’ Kamu mengetahui dengan baik bagaimana membuat kesenangan, tetapi Kamu tidak mengetahui bagaimana memelihara anak yang menjadi keturunanMu ini.”

Ciñcā mencerca Sang Tathāgata di tengah-tengah orang banyak, seperti seorang perempuan yang membawa kotoran di tangannya dan ingin mengotori permukaan bulan.

Sang Buddha yang diganggu oleh Ciñcā saat Beliau membabarkan Dhamma hanya berkata:
“Saudari, apa yang kamu katakan itu benar atau salah, hanya Tathāgata dan kamu yang tahu.”

“Ya, Bhikkhu Yang Perkasa, siapakah yang dapat memutuskan apakah hal ini benar atau salah kalau hanya saya dan Kamu yang tahu?” jawab Ciñcā.

Pada saat itu juga tempat duduk Dewa Sakka terasa panas. Dewa Sakka mencari sebabnya mengapa tempat duduknya menjadi panas, beliau segera menyadari bahwa: “Ciñcā berbohong dengan menuduh Sang Tathagata.”

Dewa Sakka lalu berkata sendiri: “Saya akan membuat masalah ini menjadi terang dan jelas.”

Dewa Sakka beserta keempat dewa lainnya pergi ke Ruang Dhammasala itu. Para Dewa itu lalu mengubah dirinya menjadi tikus-tikus kecil. Dengan satu gigitan dari tikus-tikus kecil itu, tali yang mengikat kayu di perut perempuan itu putus. Pada waktu itu juga angin bertiup dengan kencangnya sehingga jubah panjang itu terlepas dari tubuh Ciñcā, dan sepotong kayu segera jatuh dari perutnya. Kayu itu menimpa kaki dan memutuskan jari-jari kakinya. Orang-orang berteriak:
“Perempuan jahat ini telah mencerca Yang Maha Sempurna, usir dia dari sini.”

Dengan segera mereka lalu mencengkeram kepalanya, dengan segumpal tanah dan tongkat di tangan mereka mengusir Ciñcā, lalu melemparkan Ciñcā keluar dari Vihāra Jetavana.

Ketika ia tidak terlihat lagi oleh Sang Tathāgata, bumi di hadapannya merekah terbelah dua dan membenamkannya sampai di kedua lututnya, dan api Neraka Avīci segera menyambarnya. Tubuh Ciñcā lalu ditelan kobaran api, dan seperti diselimuti oleh selimut yang indah, dengan segera ia terlahir kembali di Neraka Avīci.

Sejak saat itu orang-orang tidak menghormati para petapa itu lagi, sebaliknya pengikut Sang Buddha bertambah banyak.

Keesokan harinya, para bhikkhu berdiskusi di Ruang Dhammasala:
“Bhante, Ciñcā Mānavikā karena kesalahannya menuduh Yang Maha Suci, Yang Maha Sempurna, ia menjadi hancur.”

Sang Guru Agung mendekati mereka dan bertanya:
“O, Para Bhikkhu, apa yang kalian bicarakan?”

Ketika mereka menjelaskan apa yang mereka perbincangkan, Sang Buddha lalu menjelaskan:
“O, Para Bhikkhu, ini bukanlah yang pertama kali ia melakukan kesalahan dengan melakukan tuduhan bohong kepadaKu dan menjadi hancur. Ia telah melakukan hal yang sama pada kelahirannya yang terdahulu.”

Setelah berkata demikian, Sang Guru lalu bersabda:
Kalau seorang raja melihat dengan jelas kesalahan pada suatu bagian
Sesudah ia sendiri menyelidiki semua fakta dengan teliti
Baik kecil maupun besar, ia tidak harus memberikan hukuman

Setelah berkata demikian, Beliau menjelaskan hal ini secara terperinci di dalam Maha Paduma Jataka (No. 472), dalam Nipata 12.

Referensi: samaggi-phala.or.id

Salam bahagia selalu…

Jika ingin berkontribusi dan berdiskusi terkait informasi Buddha Dhamma dapat menghubungi:

  • Instagram: midway.buddhist
  • Facebook: midway.buddhist
  • YouTube: Midway Buddhist
  • Spotify: Midway Podcast by @midway.buddhist
  • Anchor: Midway Podcast by @midway.buddhist

Kontributor: Vincent Satya Surya, 2021.

--

--

Midway Buddhist Indonesia

Wadah diskusi dan belajar tentang ajaran Buddha serta cara menjalani kehidupan dengan lebih baik. Selalu berbagi Dhamma kepada semua. Salam bahagia selalu...