Orang Buta dan Gajah
Perumpamaan Buddha
Seorang raja di Sāvatthī memanggil dan memberi perintah kepada pengawalnya untuk mengumpulkan mereka yang buta sejak lahir di Sāvatthī pada satu tempat.
Pengawal itu melaksanakan titah rajanya. Lalu setelah selesai dikumpulkan, raja menyuruh lagi untuk menunjukkan pada orang-orang buta ini seekor gajah.
Mendekatkan salah seorang dari orang-orang buta itu di kepala gajah, seorang lagi di telinganya, seorang di gadingnya, seorang di belalainya, seorang di kakinya, seorang di punggungnya, seorang di ekornya, seorang lagi di ujung-ekornya. Kemudian pengawal berkata kepada orang-orang buta itu bahwa inilah yang disebut gajah.
Orang buta yang memegang kepala gajah berkata bahwa gajah menyerupai tempayan, yang memegang telinga berkata bahwa gajah menyerupai kipas. Lalu seterusnya, mereka mengatakan gading seperti ujung bajak, belalai seperti pegangan bajak, badan gajah seperti lumbung padi, kaki seperti tiang, bokong seperti lesung, dan ekor sebagai alu-nya, ujung ekor seperti sapu.
Mereka mulai bertengkar, berteriak, dan berkelahi, bersikukuh bahwa gajah yang benar adalah seperti yang mereka bayangkan. Sang raja malah menikmati apa yang dilihatnya.
Makna dari perumpamaan ini sangatlah jelas. Mereka yang menarik kesimpulan dengan tergesa-gesa, tanpa menelitinya dari segala sudut, adalah sama halnya mendapat sebagian sudut pandang dari suatu kebenaran, dan bila dia menutup mata batinnya dan tergantung kepada pandangannya saja secara dogmatis, kecil kemungkinan bagi mereka untuk mengerti sesuatu secara lengkap.
Sumber: Tittha Sutta, Udāna VI.4, Khuddaka Nikāya.
Salam bahagia selalu…
Jika ingin berkontribusi dan berdiskusi terkait informasi Buddha Dhamma dapat menghubungi:
- Instagram: midway.buddhist
- Facebook: midway.buddhist
- YouTube: Midway Buddhist
Kontributor: Vincent Satya Surya, 2020.