Saccaka: Kebijaksanaan

Midway Buddhist Indonesia
6 min readNov 14, 2021

Buddha is My Superhero: Bukti bahwa Sang Buddha adalah “Pahlawan” bagi Dewa dan Manusia berdasarkan Buddhajayamaṅgala Gāthā

Instagram: @midway.buddhist

Saccam vihāya matisaccaka-vādaketum
Vādābhiropita-manaṃ atianda-bhutam
Paññāpadīpa-jalito jitavā munindo
Tantejasā bhavatu te jayamaṅgalãni

Saccaka, yang biasanya berkata menyimpang dari Kebenaran
Dengan pikiran buta, mengembangkan teorinya bagaikan bendera
Raja Para Bijaksana menaklukkannya dengan terangnya pelita kebijaksanaan
Dengan kekuatan ini semoga engkau mendapat kemenangan sempurna

Seorang petapa yang mempunyai kemampuan untuk mengingat 500 argumentasi dan perdebatan, tiba di Vesāli dan ia disambut dengan baik di tempat itu. Seorang pertapa wanita yang mempunyai kemampuan yang sama juga datang ke Vesāli. Para pemimpin bangsa Licchavi lalu mempertemukan keduanya dalam suatu perdebatan seru. Ketika mereka terbukti sebanding sebagai pendebat, tidak dapat saling mengalahkan, orang-orang Licchavi lalu mendapatkan ide bahwa pasangan yang demikian pasti akan menghasilkan anak-anak yang pandai.

Mereka lalu mengatur pernikahan di antara keduanya. Mereka mempunyai empat orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Anak-anak perempuan itu bernama: Sacca, Lola, Avavadaka dan Patacara, sedangkan anak laki-laki diberi nama Saccaka.

Kelima anak ini ketika mencapai usia dewasa telah mempelajari seribu argumentasi dan perdebatan, lima ratus dipelajari dari ibu mereka dan lima ratus dari ayah mereka. Orang tua mereka mengajarkan kepada anak-anak perempuannya demikian: “Bila ada pria yang dapat membuktikan kekeliruan dari pendapatmu, maka engkau harus menjadi istrinya, namun bila ia seorang petapa, engkau harus menjadi muridnya.”

Setelah beberapa waktu kemudian, orang tua mereka meninggal dunia. Ketika orang tuanya telah meninggal dunia, Saccaka tetap tinggal di tempat yang sama, mempelajari pengetahuan dan tradisi bangsa Licchavi dan mengajar para pangeran Licchavi. Keempat orang saudara perempuan Saccaka membawa sebuah cabang pohon apel, mengembara sebagai pendebat dari kota ke kota dan pada akhirnya tiba di Sāvatthī.

Mereka lalu menanam cabang pohon apel tersebut di depan gerbang kota dan berkata kepada para pemuda yang berada di sana: “Bila ada seorang pria, apakah dia orang biasa ataupun seorang petapa yang dapat menandingi kami di dalam mempertahankan suatu pendapat, biarkan ia mengacak tumpukan tanah dan menginjak cabang pohon ini.”

Setelah berkata demikian mereka memasuki kota untuk mengumpulkan dāna makanan.

Ketika itu Y.A. Sariputta, setelah merapikan dan membersihkan vihāra, dan mengunjungi orang-orang sakit, Beliau memasuki kota Sāvatthī untuk ber-piṇḍapāta. Y.A. Sariputta lalu melihat dan mendengar tentang cabang pohon tersebut, beliau lalu meminta para pemuda yang ada di situ untuk mencabut cabang pohon dan melemparkannya ke tanah. beliau lalu berkata:
“Katakanlah kepada yang telah menanam cabang pohon ini, apabila mereka telah selesai bersantap untuk datang dan menemuiKu di ruangan di atas gerbang Vihāra Jetavana.”

Y.A. Sariputta lalu memasuki kota dan setelah selesai bersantap, beliau duduk menunggu di ruangan di atas gerbang Vihāra Jetavana. Demikian pula dengan para petapa wanita itu, setelah mereka kembali dari mengumpulkan dāna makanan, mereka menemukan cabang pohon yang mereka tanam telah tercabut dan tergeletak di tanah. Mereka segera menanyakan siapa yang telah berani melakukannya. Para pemuda di situ mengatakan bahwa Y.A. Sariputta lah yang telah melakukannya, bila mereka ingin berdebat, mereka ditunggu di ruangan di atas gerbang vihāra.

Para petapa wanita itu lalu kembali ke kota, diikuti dengan banyak penonton yang ingin menyaksikan perdebatan itu. Mereka lalu menuju ke tempat di mana Y.A. Sariputta menunggu. Mereka segera mengajukan seribu macam pertanyaan kepada Y.A. Sariputta, dan Beliau dapat menjawab semua pertanyaan itu dengan baik, sampai akhirnya tidak ada lagi yang dapat mereka tanyakan. Y.A. Sariputta bertanya, apa lagi yang akan mereka utarakan, mereka menjawab: “Tidak ada lagi yang akan kami tanyakan Yang Mulia.”

Yang Mulia Sariputta berkata: “Saya akan mengajukan satu pertanyaan kepada kalian.”

Tetapi mereka tidak dapat menjawab pertanyaan itu, akhirnya mereka mengaku kalah:
“Yang Mulia, kami mengaku kalah, Andalah pemenangnya.”

“Apa yang akan kalian lakukan sekarang?” tanya Y.A. Sariputta.

Mereka menjawab:
“Orang tua kami menasihatkan demikian: ‘Apabila kamu dikalahkan di dalam suatu perdebatan oleh orang biasa, maka kamu harus menjadi istrinya, tetapi apabila ia seorang petapa, kamu harus menjadi muridnya.’ Oleh karena itu, kami mohon kepada Yang Mulia untuk membimbing kami memasuki kehidupan suci.”

Y.A. Sariputta menyetujui dan mentahbiskan mereka dalam Saṅgha Bhikkhuni yang bernama Uppalavaṇṇā. Dan dalam waktu yang singkat, mereka semua mencapai Tingkat Kesucian Arahat.

Saudara laki-laki mereka, Saccaka belajar lebih banyak dibandingkan saudara-saudara perempuannya. karena selain ia belajar dari orang tuanya, ia juga belajar kepada guru-guru yang lain. Saccaka menetap di Vesāli menjadi guru bagi para pangeran. Ia terkenal sebagi pendebat ulung, yang tak terkalahkan dan ia ditakuti oleh lawan-lawannya. Karena ia merasa semakin banyak ilmu yang dipelajari, ia takut tubuhnya akan meledak, karena itu ia memakai ikat pinggang besi. Kepada semua orang ia memproklamasikan: “Tidak seorangpun yang mempunyai ilmu yang melebihi diriku.”

Dan banyak orang yang menjadi pengikutnya.

Pada suatu hari, Saccaka bertemu dengan Y.A. Assaji, yang sedang ber-piṇḍapāta di kota Vesali. Ketika melihat beliau, ia berpikir alangkah baiknya kalau ia dapat melakukan perdebatan dengan Sang Buddha. Ia telah sering mendengar tentang Sang Buddha, tetapi ia ingin mengetahui terlebih dahulu apa yang diajarkan oleh Sang Guru Agung. Ia lalu menghampiri Y.A. Assaji dan bertanya: “Yang Mulia, bagaimanakah Bhikkhu Gotama mengajar murid-muridNya? Apakah Ajaran Beliau yang paling mutakhir dan paling populer?”

Yang Mulia Assaji menjawab: “Yang Maha Suci menerangkan: Bentuk (Rupā) adalah tidak kekal (Aniccā); Kelompok perasaan (Vedanā) adalah tidak kekal; Pencerapan (Saññā) adalah tidak kekal; Bentuk batin yang berhubungan dengan keinginan (Saṅkhārā) adalah tidak kekal; Kesadaran (Viññāna) adalah tidak kekal; dan Segala yang berwujud adalah tanpa jiwa/inti (Anattā).

Demikianlah Yang Maha Suci mengajarkan murid-muridNya dan inilah Ajaran Beliau yang paling mutakhir dan paling populer.”

Ketika Saccaka mendengar pernyataan ini, ia berkata: “Sebelumnya saya tidak pernah mendengar doktrin seperti itu, saya akan menemui Bhikkhu Gotama dan meyakinkan Beliau akan kesalahan besar ini.”

Sebelumnya Saccaka takut mengadakan perdebatan dengan Sang Buddha karena ia belum mengetahui Ajaran Beliau, tapi sekarang rasa takutnya telah lenyap dan dengan membual tentang apa yang akan dicapainya, ia membujuk para pangeran untuk menyertainya menemui Sang Buddha. Ia berangkat ke Vihāra Mahavana, dengan diiringi 500 orang pangeran Licchavi.

Sang Buddha telah mengetahui Saccaka akan datang menemuiNya, sekembali dari ber-piṇḍapāta Beliau lalu meminta para bhikkhu untuk menyiapkan tempat duduk di bawah sebuah pohon di hutan yang berdekatan dengan vihāra tersebut. Ketika Saccaka datang, ia dipersilakan menuju ke tempat tersebut. Para penduduk yang mendengar bahwa Saccaka datang dengan disertai 500 orang pangeran, untuk berdebat dengan Sang Buddha, berduyun-duyun datang ke hutan itu untuk menyaksikan perdebatan seru itu.

Setelah Saccaka memberikan salam hormat kepada Sang Buddha, Saccaka meminta izin untuk mulai mengajukan pertanyaan. Sang Buddha berkata, ia dapat bertanya apa saja yang ingin ditanyakannya. Saccaka lalu mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakannya kepada Y.A. Assaji.

Sang Buddha menjawab pertanyaan itu dengan memberi penjelasan yang menyeluruh dan terperinci mengenai dasar-dasar Ajaran Beliau, dan menunjukkan kekeliruan pandangan Saccaka. Untuk orang-orang tertentu, hanya seorang Sammāsambuddha yang dapat meyakinkan dan meluruskan pandangan mereka yang keliru, dan Saccaka adalah salah seorang diantaranya.

Setelah perdebatan berlangsung beberapa saat, Sang Buddha mengajukan sebuah pertanyaan kepada Saccaka, tetapi ia diam tidak menjawab. Untuk kedua kalinya Sang Buddha bertanya, Saccaka tetap diam. Kemudian Sang Buddha bertanya untuk ketiga kalinya, pada saat itu raja para dewa yaitu Dewa Sakka dengan memegang kapak di tangannya, berdiri melayang di udara, tepat di atas kepala Saccaka dan berkata:
“Saccaka, apabila kamu tidak mau menjawab pertanyaan Sang Tathāgata yang telah diajukan untuk ketiga kalinya, maka aku akan membelah kepalamu menjadi tujuh bagian.”

Hanya Sang Buddha dan Saccaka yang dapat melihat Dewa Sakka.

Akhirnya Saccaka mengakui bahwa Ajaran Sang Buddha benar, ia mengaku kalah. Keringat membasahi tubuhnya sehingga jubahnya basah kuyup. Melihat kejadian ini, Sang Buddha menunjukkan bahwa jubah Saccaka basah kuyup oleh keringat sedangkan Beliau sendiri tidak berkeringat sedikitpun. Merasa terkalahkan Saccaka tertunduk dan diam seribu bahasa.

Seorang pangeran Licchavi bernama Durmukha mengibaratkan Saccaka sebagai seekor kepiting yang semua kakinya telah patah. Saccaka mengakui kekalahannya. Kemudian ia bertanya lagi tentang Ajaran Sang Buddha yang lebih terperinci.

Ia lalu mengundang Sang Buddha berserta murid-muridNya untuk menerima dāna makanan yang dipersembahkan di tempat kediamannya.

Pada kesempatan lain, Saccaka seorang diri mengunjungi Sang Buddha untuk mendengarkan uraian lebih lanjut tentang Dhamma yang mulia. Uraian Dhamma ini tercantum di dalam Mahā Saccaka Sutta.

Referensi: samaggi-phala.or.id

Salam bahagia selalu…

Jika ingin berkontribusi dan berdiskusi terkait informasi Buddha Dhamma dapat menghubungi:

  • Instagram: midway.buddhist
  • Facebook: midway.buddhist
  • YouTube: Midway Buddhist
  • Spotify: Midway Podcast by @midway.buddhist
  • Anchor: Midway Podcast by @midway.buddhist

Kontributor: Vincent Satya Surya, 2021.

--

--

Midway Buddhist Indonesia

Wadah diskusi dan belajar tentang ajaran Buddha serta cara menjalani kehidupan dengan lebih baik. Selalu berbagi Dhamma kepada semua. Salam bahagia selalu...